DUA
"Dirimu bukanlah dirimu!", sepenggal kalimat itu terngiang terus ditelingaku hingga masuk ke otakku melalui ubun-ubun. Menjadi sebuah kebingungan memang. "Apa maksudnya kalimat itu tertuju padaku?", gumam Sapta.
Mulut Sapta dari kejauhan terlihat seperti komat-kamit membacakan matra-mantra palsu. Hingga seseorang menegur Sapta. "Siang-siang kok ngelamun!", ujar seorang bapak yang sudah berumur. Terkejut memang. Tapi Sapta berusaha untuk tidak menunjukkan kebingungannya.
"Maaf, Mas!", tukas seorang pramusaji kepada Sapta. Matanya tertuju kepada Sapta. "Kopinya sudah jadi Mas!", ujar pramusaji tersebut. Memang cantik dia, walau warna kulit tangannya terlihat hitam. Namun bersih, seperti bisa merawat diri. Rambutnya diikat. Di buntut kuda orang-orang menyebutnya. "Mas! Mas! Kok bengong?" tanya si pramusaji tersebut kepada Sapta.
Aku tidak membalasnya lewat kata-kata, tapi pikirku mengatakan, "Gila! Cantik banget nih cewek!". Malah kali ini dia memyunggingkan senyumnya. Terlihat giginya berderet rapih tersusun. "Ya sudah, aku kembali kerja ya Mas?", ujar si pramusaji cantik tersebut.
Bodohnya aku malah berani memperkenalkan nama diriku kepadanya, "Aku Sapta!". Tak diduga pramusaji itu membalas jawabanku, "Diriku ada dalam dirimu, dirimu ada dalam diriku!".
"APAAA?", diriku sontak dibuatnya terkejut. Baper, istilah anak muda sekarang, melanda perasaanku. Sapta seorang yang terkenal tegas, mendadak wajahnya terlihat pucat dan berkeringat.
(Bersambung....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar